Presiden Joko Widodo menyatakan krisis pangan kini semakin nyata terjadi akibatnya banyak negara membatasi ekspor sebagai imbas dari El-Nino yang menyebabkan kekeringan ekstrim dan mengganggu produksi pangan secara global.
El Nino Penyebab Negara Lain Stop Ekspor
El Nino adalah pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan hujan di wilayah Indonesia.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebutkan di Indonesia sendiri, suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celcius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.
Organisasi pangan dunia Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut jumlah negara yang melarang ekspor bahan pangan kini semakin bertambah. Larangan ekspor bahan pangan tersebut dilakukan karena semakin tingginya harga pangan yang diakibatkan perubahan iklim dan kondisi geopolitik dunia.
Menurut Jokowi, saat ini sudah ada 22 negara yang melarang ekspor pangan. “Yang sekarang terjadi menyebabkan pangan semakin naik harganya adalah 19 negara sekarang ini sudah tidak mengekspor pangan, bahkan tadi pagi saya baca lagi bukan 19 lagi, tetapi 22 negara saat ini sudah tidak mau mengekspor bahan pangannya, termasuk di dalamnya adalah beras,” kata Jokowi dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional IV PDIP Tahun 2023 di Jakarta.
Beberapa negara yang mulai melakukan larangan ekspor bahan pangan, antara lain, Uganda, Rusia, India, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar. “Betapa nanti kalau ini diteruskan, semua harga bahan pokok pangan semuanya akan naik,” ujarnya.
Baca juga : Mengenal Sosok Utsman Bin Affan
Jokowi menyampaikan, ancaman perubahan iklim semakin nyata dirasakan di berbagai negara. Ancaman itu seperti terjadinya kenaikan suhu bumi, kekeringan, dan kemarau panjang yang menyebabkan gagal tanam dan gagal panen. Di Indonesia sendiri terjadi super El Nino di tujuh provinsi sehingga berpengaruh terhadap pasokan pangan nasional.
Selain dipengaruhi oleh ancaman perubahan iklim, pasokan pangan dipengaruhi kondisi geopolitik dunia. Jokowi mengatakan, perang di Ukraina dan Rusia sempat menyebabkan pasokan gandum berkurang sehingga menyebabkan harganya melambung tinggi.
Indonesia juga masih melakukan impor gandum sebesar 11 juta ton dan hampir 30 persennya berasal dari Ukraina dan Rusia. “Artinya, total dari dua negara itu yang tidak bisa keluar gandumnya 207 juta ton.
Sehingga yang terjadi adalah di Afrika, di Asia, maupun di Eropa sendiri kekurangan pangan itu betul-betul nyata dan terjadi harga yang naik secara drastis,” ujar Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi ingin masalah pangan menjadi perhatian utama pemimpin berikutnya sehingga Indonesia bisa memiliki swasembada pangan dan menjaga ketahanan pangannya.
Untuk membantu ketahanan pangan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama pemerintah daerah menggencarkan pelaksanaan sekolah lapang iklim (SLI). Program itu dilakukan untuk melatih keterampilan petani beradaptasi dengan perubahan iklim.
“Dengan mengetahui lebih dini maka petani dapat segera menyusun rencana tanam, mulai dari penyesuaian waktu tanam, jenis tanaman yang tepat apa dan kapan harus ditanam, kapan harus menunda tanam, kapan harus memanen, pengelolaan air, apa saja yang harus disiapkan agar tidak mengalami gagal panen, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Ia berharap petani dan tenaga penyuluh pertanian bisa memanfaatkan layanan informasi cuaca dan iklim yang disediakan BMKG dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situasi cuaca dan iklim kekinian.